PKL Tertata Dukung Wisata Jogja

Keindahan Jogja dari sisi tata kota menjadi magnet bagi wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara untuk menghabiskan waktu di kota ini. Agus Salim, Ketua DPRD Kabupaten Tegal mengapresiasi Pemkot Jogja yang dapat memberdayakan Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sarana pendukung pariwisata. Agus juga heran dengan situasi Malioboro yang sekilas hanya dilengkapi PKL dan jalan yang tertata rapi, namun mampu menarik hati wisatawan dari seluruh dunia. Sementara di Tegal yang luasnya berkali-kali lipat dari Kota Jogja, belum bisa mewujudkannya. Asal ada tanah kosong di pinggir jalan, biasanya langsung dibuat warung yang asal-asalan. Mau dibongkar kasihan. Tapi jika dibiarkan, tidak sedap dipandang mata. Untuk itu kami ingin belajar bagaimana menata PKL dari sisi aturan supaya bisa tertata dan diberdayakan dengan baik,” tutur Agus dalam kesempatan melakukan kunjungan ke gedung dewan Kota Jogja pada Rabu (4/3) siang.

Menanggapi hal itu, Nur Cahyo, anggota Komisi B DPRD Kota Yogyakarta  menyampaikan bahwa Kota Jogja memiliki Perda No.26 Tahun 2002 tentang  Penataan PKL. Beberapa waktu lalu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Jogja sempat mengusulkan perubahan atas Perda ini, namun masih dalam tahap pembicaraan. Terkait PKL di Malioboro, dimana kawasan Malioboro ke depan akan menjadi pedestrian, maka nantinya kawasan tersebut akan bersih dari PKL yang berjualan di pinggir jalan. “Ini sudah diuji cobakan pada tiap Selasa Wage, dimana pada hari itu seluruh PKL off tidak berjualan. Mereka melakukan aksi kerja bakti membersihkan kawasan Malioboro, khususnya sekitar area berjualan mereka. Konsep awal seperti itu, tapi ini masih dibahas mau ditempatkan dimana PKL tersebut,” ucap Nur Cahyo.

Senada dengan politikus dari Fraksi PKS tersebut, Budi Santosa, Kepala Seksi Peningkatan Kapasitas SDM Pengelolaan Data dan Informasi Satpol PP Kota Yogyakarta menyampaikan bahwa PKL diatur dalam Perwal Kota Jogja No. 62/2009 tentang petunjuk teknis Perda No.26/2002, yang merupakan perubahan dari Perwal No. 45/2007. Perwal ini memuat diantaranya ketentuan bahwa PKL dapat menggunakan trotoar dengan lebar minimal 1,5 meter. Mereka juga harus menyisakan minimal 0,75 meter untuk pejalan kaki. Tidak semua penggal jalan diperkenankan untuk PKL. Pada lampiran Perwal tersebut sudah diatur per kecamatan dengan penggal jalan yang diperkenankan. Selain yang terdapat dalam lampiran tersebut tidak diperkenankan sebagai tempat berjualan PKL. Disamping itu apabila di penggal jalan tersebut diperkenankan, namun ada pengecualian yaitu yang berhadapan dengan tempat ibadah, simpang jalan, depan kantor pemerintah, Kantor Pos Besar (di Malioboro), Gedung Agung, TMP Kusumanegara, dan Benteng Vredenberg. “Camat tiap kecamatan juga harus menerbitkan Surat Keputusan (SK)titik-titik jalan yang diperkenankan untuk usaha. Tidak semua titik pada penggal jalan diperbolehkan dan tidak boleh menambah titik. Bangunan PKL juga tidak boleh permanen, harus bongkar pasang. Selain itu makanan yang dijual harus memperoleh sertifikat layak sehat,” ujarnya.

Pemkot Jogja juga membentuk tim khusus penataan PKL, yang terdiri dari gabungan beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) diantaranya Disperindag bekerjasama dengan DPUPKP, Dishub, DLH, dan Satpol PP. Khusus di kawasan Malioboro, karena merupakan kawasan wisata, ada Perwal khusus yang mengatur yaitu Perwal  No.37/2010 tentang Penataan PKL Malioboro Ahmad Yani. Instansi yang menaungi PKL di Jalan Malioboro dan Ahmad Yani yaitu UPT Malioboro yang berda di bawah Dinas Pariwisata. “Kami juga sudah melakukan beberapa kali relokasi PKL sebagai upaya penataan, diantaranya Tahun 2003 PKL di depan Benteng Vredenberg dipindahkan ke selatan pasar Beringharjo menjadi Pasar Sore Malioboro. Sebelum tahun 2004, anda mungkin menjumpai banyak pedagang sayur di area shopping center samping Taman Pintar, dimana mereka dipindahkan ke Pasar Giwangan. Tahun 2007 pedagang klitikan di Selatan Tugu Pal Putih (Jl Margomulyo – Jl Mangkubumi), dipindah ke pasar Pakuncen. Saat ini semua sudah kondusif,” terang Budi.

Ketua Komisi B DPRD Kota Jogja, Susanto Dwi Antoro menambahkan Relokasi PKL menjadi hal yang sangat menarik karena mereka diajak diskusi. Ini tak lepas dari peran dari Keraton Jogja yang menjembatani, dimana Sri Sultan HB X sangat diagungkan oleh seluruh warga Jogja. Dalam relokasi ini sangat mengedepankan pendekatan dan aspek kultural. “Dalam pengambilan kebijakan di Kota Jogja, Pemkot selalu memperhatikan 4 K (Kampung, Kampus, Keraton, dan Korporate). Kota Jogja merupakan wilayah berbasis kampung, sehingga segala keputusan harus melibatkan warga kampung. Kota Jogja juga dihuni oleh puluhan perguruan tinggi ternama yang siap memberikan masukan dari aspek akademis. Perusahaan di Kota Jogja juga tak luput dari peran bagi pembangunan di Kota Jogja melalui program CSR-nya,” tutur Susanto. (ism/ast)